Salah satu peristiwa yang tidak bisa dilupakan adalah gugurnya Kolonel (Anumerta) Adel Gustimego (Akmil 1978, saat itu Komandan Detasemen 81), pada 15 April 1996, di Timika. Jadi hanya sehari sebelum HUT Kopassus ke-44. Kopassus sendiri resmi berdiri pada 16 April 1952.
Mungkin ada sebagian dari kita masih ingat, keesokan harinya Brigjen TNI Prabowo Subianto, selaku Danjen Kopassus saat itu, memimpin upacara pemakaman sejumlah anggota Kopassus (yang gugur bukan hanya Letkol Adel) di TMP Jayapura, tepat pada hari jadi Kopassus. Sungguh peringatan ulang tahun yang sangat pahit, dan sulit dilupakan sampai kapanpun.
Peristiwa berikutnya, gugurnya Brigjen I Gusti Putu Danny Nugraha Karya (Danny, Akmil 1993), Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua, juga masih di seputar hari jadi Kopassus, tepatnya 25 April 2021. Gugurnya Brigjen Danny, selain mengundang keprihatinan, juga bisa menjadi pembelajaran. Sekadar perbandingan, dalam konflik separatis di Aceh dan Timor Timur di masa lalu, yang durasinya begitu panjang, belum pernah terjadi perwira berpangkat brigjen tewas, bahkan seorang kolonel sekalipun.
Dalam masa konflik Timor Timur (kini Timor Leste) dan Aceh, perwira berpangkat brigjen lebih banyak berada di markas, sebagai Panglima Komando Operasi, hanya sesekali inspeksi ke garis depan, itu pun dengan prosedur pengamanan yang sangat ketat dan berlapis. Pangkat tertinggi di garis depan adalah mayor atau letkol, dalam posisi komandan batalion, itu sebabnya tidak pernah terjadi seorang brigjen tewas.
Monumen Benny Moerdani
Peristiwa gugurnya Kolonel (Anumerta) Adel dan Mayjen (Anumerta) Danny, mengingatkan bagaimana pasang surut hubungan Kopassus dengan wilayah Papua, seperti ada hubungan istimewa antara keduanya. Hubungan Papua dan Baret Merah sudah dimulai, ketika Papua sendiri belum resmi masuk NKRI, ketika sejumlah pasukan TNI diterjunkan di belantara Papua, dalam konteks Operasi Trikora.
Salah satu penandanya adalah Monumen Benny Moerdani di Merauke. Monumen tersebut berdiri sejak 1989, sebagai peringatan atas operasi penerjunan, dengan nama sandi Operasi Naga (1962), di bawah pimpinan (pangkat saat itu) Kapten Inf. Benny Moerdani, yang di kemudian hari muncul sebagai figur protagonis militer Indonesia, utamanya era Orde Baru.
Saat upacara penyambutan pasukan yang baru pulang dari Operasi Trikora, seputar Februari 1963, Bung Karno (Presiden saat itu) menyampaikan metafora yang sangat indah: bunga mawar tidak pernah mempropagandakan harum semerbaknya, dengan sendirinya harum semerbaknya itu tersebar di sekelilingnya. Tamsil ini sepertinya ditujukan Bung Karno kepada seluruh pasukan yang baru tiba, namun bisa secara tepat menggambarkan bagaimana karakter Benny dalam sepanjang karir militernya, yang dikenal sangat hemat bicara.
Sampai hari ini, monumen Benny, sebagai representasi citra Benny, masih mendapat tempat khusus di kalangan warga Merauke. Salah satunya karena, kebetulan Benny sendiri menganut agama Katolik, yang juga dianut sebagian besar warga Merauke. Dalam hal keberagaman, telah terjadi titik temu antara Korps Baret Merah dengan Merauke, atau Papua pada umumnya.
Begitu eratnya hubungan batin antara Papua dan Kopassus , di Merauke terdapat juga seruas jalan yang diberi nama Para Komando, sebagai bentuk penghormatan pada RPKAD (nama terdahulu Kopassus). Rasanya baru di Merauke inilah ada jalan yang mengabadikan nama Korps Baret Merah. Di kota-kota lain di Jawa, umumnya mengambil nama kesatuan tentara pelajar, seperti TGP (Tentara Genie Pelajar) atau TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) di Jatim, Jalan TP (Tentara Pelajar) di Jateng, dan Jalan Pasukan Pelajar IMAM (Indonesia Merdeka atau Mati) di kawasan Banyumas.
Memenangkan hati dan pikiran
Benar, Kopassus seolah memiliki hubungan yang unik dengan tanah Papua, bahwa hubungan itu tidak selamanya mulus. Benar, di kawasan pesisir selatan Papua (Merauke), Baret Merah begitu dimuliakan melalui Monumen Benny dan seruas jalan Para Komando. Namun di utara (Jayapura) ceritanya bisa berbeda. Setidaknya dua tokoh budaya Papua tewas di tangan anggota Kopassus, yaitu Theys Eluay (2001) dan Arnold Clemens Ap (1984, pimpinan kelompok musik Mambesak).
Dari dua peristiwa terkait dua tokoh itu saja, kita bisa tahu bahwa Kopassus selalu bergerak (operasi intelijen) di Papua. Sejak lama diketahui Kopassus memiliki pos komando di Pantai Hamadi (Jayapura), meskipun di depan markasnya tidak terdapat plang nama, namun semua warga (khususnya Jayapura) sudah paham. Operasi Kopassus di Papua, biasanya dikenali dengan adanya satuan tugas (Satgas), yang secara periodik namanya diganti.
Dalam jangka waktu lama pernah bernama Tim Maleo, kemudian Satgas Tribuana, dan kemudian berganti nama lagi menjadi Satgas Cenderawasih. Tim Maleo ini memang yang paling terkenal, karena jangka waktu operasinya yang panjang, sepanjang dasawarsa 1980-an sampai menjelang era reformasi. Nama Satgas Tribuana kemudian diganti menjadi Satgas Cendrawasih, karena operasi senyapnya terhadap Theys, terlanjur tersebar ke publik.
Kopassus berkepentingan mengadakan operasi (intelijen) di Papua, termasuk di Aceh dan Timor Leste di masa lalu, sebagai wilayah konflik. Selain untuk kepentingan ideologis (menjaga kedaulatan negara), ada juga kepentingan yang lebih teknis, operasi diadakan untuk keperluan memelihara kemampuan tempur anggotanya, terutama dalam operasi sandi yudha (perang rahasia). Pengalaman operasi tempur atau berdinas di wilayah konflik, selama ini juga bermanfaat dalam peningkatan karier bagi anggota Kopassus.
Strategi yang dipilih untuk mengatasi gerakan bersenjata di Papua, bisa menggambarkan paradigma TNI, bahwa gerakan separatis di Papua harus dihadapi dengan sistem lawan-gerilya. Sebagaimana kita ketahui operasi lawan-gerilya adalah salah satu kemampuan Kopassus. Kompetensi yang sedang dipraktikkan saat ini dalam operasi pembebasan sandera.
Dengan memberi label teroris atau kriminal pada gerakan separatis di Papua, sama artinya memberi ruang pada TNI untuk menggelar operasi skala besar. Kita khawatir yang terjadi adalah seperti Timtim atau Aceh dulu, ketika rakyat (biasa) Papua, yang terkena dampaknya, dan itu sudah terjadi. Impian soal tanah Papua yang damai akan semakin jauh kita gapai.
Kekhawatiran berikutnya, adalah soal jatuhnya korban prajurit biasa (tamtama), berdasar kenyataan medan pertempuran di Papua yang bukan main luasnya, jauh melebihi luas Aceh dan Timtim. Bila saat di Aceh dan Timtim saja, prajurit TNI sudah banyak jatuh korban, apalagi di Papua yang wilayahnya lebih luas dan hutan alamnya lebih lebat.
Berapa pun jumlah pasukan yang dikirim ke Papua, tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menjadi pertempuran jangka panjang, hasilnya akhirnya juga belum pasti. Pada titik ini kita ingat kembali, tentang arti penting dialog, untuk memenangkan hati dan pikiran warga Papua. Dengan dialog damai dan terbuka, niscaya tidak ada satu pun peluru yang meletus.
Asistensi Israel
Saat tulisan ini disiapkan, pasukan TNI sedang berupaya membebaskan sandera, seorang pilot Susi Air asal Selandia Baru. Dan Kopassus terlibat penuh dalam operasi pembebasan ini, karena kebetulan pemimpim operasinya adalah Brigjen TNI JO Sembiring (Akmil 1995, Danrem 172/PWY), yang lama berdinas di Kopassus, salah satunya pernah menjabat Komandan Grup 3/Sandi Yudha (2016).
Sejarah seperti berulang, selepas dilantik sebagai Danjen Kopassus, Brigjen Prabowo mengambil peran untuk mengatasi penyanderaan sejumlah peneliti keanekaragaman hayati di Taman Nasional Lorentz Papua. Para peneliti itu, beberapa di antaranya dari luar negeri, melakukan studi lapangan pada November 1995 hingga Januari 1996. Mereka disandera Mapenduma, sebuah desa di Distrik Nduga, 160 kilometer dari Wamena. Mereka disandera salah satu sayap Organisasi Papua Merdeka pimpinan Kelly Kwalik.
Prabowo turun langsung ke Papua untuk memberi supervisi pasukannya dengan membangun posko di Wamena sejak Januari 1996. Pada 9 Mei, kesatuannya menyerbu lokasi basis penyandera pimpinan Kwalik, dan membebaskan para sandera. Salah satu yang patut dicatat adalah tentang asistensi Israel dalam operasi pembebasan ini, dan itu diakui secara terbuka oleh Prabowo (saat itu).
Salah satu bantuan penting Israel adalah pemanfaatan UAV (pesawat nirawak), untuk menyusuri jejak para pelaku dan korban sandera. Pada tahun 1996, teknologi UAV atau drone masih terbilang baru, dan belum lagi masuk dalam daftar alustista organik TNI. Selain itu, senapan serbu andalan Kopassus, salah satunya juga produksi Israel, yaitu Galil. Tipe Galil untuk penembak runduk (sniper), juga dioperasikan satuan lain di TNI.
Dihubungkan dengan situasi kekinian, ketika muncul polemik terkait keterlibatan tim sepak bola Israel dalam Piala Dunia U-20, yang sedianya akan diselanggarakan di Indonesia, polemik menjadi terasa basi dan sama sekali tidak relevan. Bila ditarik lebih jauh lagi, yakni saat Operasi Woyla di Bangkok (1981), Benny Moerdani langsung ikut menyerbu ke pesawat, bersama tim penyerbu pimpinan Letkol Inf Sintong Panjaitan (Akmil 1963, terakhir Letjen), Benny sembari menggegam Uzi (submachine gun, pistol mitraliur) buatan Israel (juga). Artinya, peralatan produksi Israel, dengan cara masing-masing selalu hadir dalam operasi krusial Kopassus. (hp/ap)
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.