Mengapa Korea Utara Tutup Banyak Kedutaannya di Afrika?
8 November 2023Akhir Oktober lalu, duta besar Korea Utara untuk Angola dan Uganda mengucapkan selamat tinggal kepada para pemimpin lokal, dan media Korea Selatan berspekulasi bahwa lebih banyak kedutaan besar Korea Utara di seluruh Afrika mungkin terpaksa ditutup dalam beberapa bulan mendatang.
"Jelas bahwa mereka mengalami masalah keuangan dan posisi internasional mereka menjadi semakin terisolasi, namun mungkin juga Pyongyang tidak lagi mempunyai kepentingan langsung dengan beberapa negara tersebut,” kata Lim Eunjung, profesor studi internasional di Universitas Nasional Kongju di Korea Selatan.
Lim menambahkan, Korea Utara tidak menerima sambutan hangat di banyak negara Afrika seperti dulu. Angola, misalnya, pernah menerima sekitar 3.000 "penasihat” militer tahun 1970an dan 1980an. Pasukan ini bertugas melatih pasukan lokal dan turut berperang melawan pasukan Afrika Selatan. Tetapi pemerintah Angola mulai menjauhkan diri dari Korea Utara pada tahun 2019 ketika, di bawah tekanan PBB, mereka mendeportasi hampir 300 warga Korea Utara.
Pasukan Korea Utara juga melatih personel militer Uganda, termasuk seni bela diri, dan ada dugaan senjata ringan buatan Korea Utara diimpor ke negara tersebut. Pyongyang juga membina hubungan dekat dengan Etiopia dan Kenya dan merupakan sekutu jangka panjang Zimbabwe.
Masih harus dilihat apakah tekanan internasional terhadap pemerintahan di negara-negara ini akan mendorong mereka menjauhkan diri sekarang, kata Lim.
Korea Utara makin dekat dengan Rusia
"Banyak negara di ‘selatan' sekarang melihat risiko yang lebih besar dalam menjalin hubungan erat dengan Korea Utara, dan mereka tidak lagi melihatnya sebagai mitra diplomatik yang diinginkan,” kata Lim Eunjung lebih lanjut. "Perilaku Korea Utara sering kali keterlaluan di mata masyarakat internasional dan mereka tidak menoleransinya lagi.”
Namun Korea Utara juga telah mendekat ke Rusia. "Mereka semakin dekat dengan Moskow demi kelangsungan hidup mereka, dan ini bukanlah hal yang tidak terduga,” tambah Lim. "Segera setelah Rusia menginvasi Ukraina tahun lalu, Korea Utara memberikan dukungan dan kini memasok peluru artileri dan senjata lainnya untuk perang. Sebagai imbalannya, mereka menerima bahan bakar dan makanan, yang keduanya sangat dibutuhkan namun tidak dapat diperoleh dari negara-negara Afrika."
Toshimitsu Shigemura, profesor politik di Universitas Waseda Tokyo, berpendapat bahwa tingginya biaya pengoperasian misi diplomatik di luar negeri juga menjadi faktor penting di balik keputusan Pyongyang untuk menutup beberapa misi diplomatik, namun ada pertimbangan lain.
"Kedutaan Besar Korea Utara tidak menerima uang apa pun dari Pyongyang dan mereka terpaksa mencari penghasilan sendiri,” katanya kepada DW. Cara termudah untuk melakukan hal ini adalah dengan cara yang ilegal, tambahnya, karena diplomat Korea Utara di masa lalu terlibat dalam penyelundupan rokok palsu, mata uang, narkotika sintetis, senjata dan bahkan cula badak, sering kali melalui kantong diplomatik.
Surat kabar Jepang Yomiuri juga melaporkan bahwa Korea Utara akan menutup konsulat yang dibuka di Hong Kong pada tahun 1999, dua tahun setelah bekas jajahan Inggris itu dikembalikan ke kendali Cina. Konsulat tersebut secara luas dipandang sebagai salah satu stasiun luar negeri Korea Utara yang paling penting, tetapi sekarang oleh Cina.
Banyak diplomat yang membelot
"Saya juga yakin Korea Utara khawatir akan semakin banyak diplomatnya yang membelot, yang merupakan sumber rasa malu di masa lalu,” kata Toshimitsu Shigemura.
Thae Yong-ho, mantan wakil duta besar untuk London, membelot bersama keluarganya pada tahun 2016 dan sejak itu terpilih menjadi anggota parlemen Korea Selatan, di mana ia menjadi kritikus vokal terhadap Pyongyang.
Demikian pula mantan duta besar Korea Utara untuk Italia Jo Song-gil menghilang bersama istrinya pada tahun 2020 dan sekarang tinggal di Korea Selatan. Tahun berikutnya Ryu Hyun-woo, mantan penjabat utusan untuk Kuwait juga membelot.
"Banyak diplomat yang senang tinggal di luar negeri dan tidak ingin kembali ke Korea Utara, sehingga mereka membelot,” kata Toshimitsu Shigemura. Bagi para pemimpin di Pyongyang, itu adalah pengkhianatan, namun juga memalukan, pungkasnya.
(hp/as)