Jejak Kental Pengaruh Imigran Asal Cina di Kuliner Betawi
15 November 2021Setidaknya 20 makanan Betawi telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Warisan Budaya Tak Benda, seperti laksa Betawi, soto Betawi, dan gado-gado.
Berbagai makanan khas Betawi ini dipengaruhi tradisi kuliner masyarakat dari daratan Cina. Menurut buku berjudul Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia karya Fadly Rahman, dosen sejarah di Universitas Padjajaran, bahan-bahan yang dipakai untuk membuat gado-gado seperti tahu, kacang, dan bawang putih dahulu dibawa oleh orang Tionghoa yang bermigrasi ke Batavia (Jakarta). Kata tahu, misalnya, diserap dari kata tau-hu dalam Bahasa Hokkian atau dialek Selatan (Hainan).
Sayangnya, beberapa makanan Betawi tempo dulu seperti laksa Betawi, sayur besan, dan pecak mujair justru semakin sulit ditemukan. Memang, hanya segelintir orang Betawi di wilayah Jabodetabek yang masih melestarikan dan memasak makanan-makanan ini. Di antara mereka ada Ahmad Syihabbudin, pemilik Laksa Betawi Asirot di Jakarta Selatan, dan Suhaer Be'eng, pemilik Warung Betawi Bang Be'eng di Depok.
Anak pertama Suhaer Be'eng, Yusri Khoiriyah, saat ini sedang belajar mengelola bisnis keluarganya sembari terus belajar memasak kuliner Betawi klasik dari sang ibu, Nur Hasanah. Sedangkan Ahmad Syihabbudin kini memimpin usaha rumah makan Laksa Betawi Asirot yang telah berdiri sejak tahun 1972. Ia menggantikan neneknya, Muroni, yang meninggal tiga tahun lalu.
"Sayang kalau (Laksa Betawi Asirot) tidak diteruskan," kata Ahmad kepada DW Indonesia. Untuk menjaga resep warisan keluarga, warung yang terletak di Jl. Assirot No. 1 di Jakarta Selatan ini hanya menjual dua menu: laksa dan ketupat sayur.
Dari laksa hingga ke sayur besan
Kuah santan laksa yang dijual di warung itu kental dengan warna kuning cerah dan kuatnya aroma ebi. Kuah ini disiram ke dalam piring yang sudah diisi ketupat, kecambah, dan kemangi. Setelah itu bawang goreng renyah ditabur di atasnya. Jika dinikmati dengan emping, jengkol atau empal daging, laksa terasa semakin lezat.
"Di sini, yang kita jual ini laksa zaman dulu," kata Ahmad kepada DW Indonesia. Satu porsi laksa dijual dengan harga Rp20.000. Di rumah makan Laksa Betawi Asirot, Ahmad menggunakan resep laksa dari sang nenek, Muroni, yang meninggal pada tahun 2018. Meskipun neneknya telah tiada, Ahmad memastikan cita rasa laksa Betawi yang ia buat masih sama dengan laksa Betawi yang dibuat sang nenek.
Sedangkan Warung Betawi Bang Be'eng yang terletak di Jl. Kp. Kandang Duren Seribu No. 50 di Depok menjual lebih dari 20 masakan Betawi tempo dulu, seperti sayur besan, pecak mujair, dan tumis jantung pisang.
"Menu-menu di sini kebanyakan warisan turun menurun dari kakek dan nenek," kata Yusri Khoiriyah kepada DW Indonesia.
Menurut Yusri, salah satu menu terlaris di Warung Betawi Bang Be'eng ialah sayur besan. Orang-orang Betawi yang tinggal di Jakarta, katanya, belum tentu tahu sayur besan karena masakan ini merupakan makanan khas orang-orang Betawi pinggiran atau orang-orang Betawi yang tinggal di daerah perbatasan antara Depok dan Bogor.
"Untuk orang-orang Betawi di sini, sayur ini dulu harus ada pada saat acara pernikahan. Ketika pihak laki-laki dan keluarganya datang ke rumah pihak perempuan, keluarga pihak perempuan harus menyiapkan makanan sebagai jamuan. Salah satunya itu sayur besan. Sayur ini disebut sayur besan karena untuk menjamu para besan," kata Yusri.
Kuah sayur besan berwarna kuning kemerah-merahan, dengan kol, kentang, dan suun sebagai isian. Selain itu, ada juga ebi, petai, dan terubuk di dalamnya. Menurut Yusri, bukan sayur besan jika tidak ada terubuk di dalamnya. Terubuk atau bunga tebu yang masih kuncup juga dikenal sebagai tebu endok atau telur karena bagian yang dimakan berbentuk seperti gumpalan telur ikan.
"Harganya juga lumayan. Harga satu ikat yang isinya 100 batang itu Rp250.000, dan tidak semua tempat jual terubuk," kata Yusri. Satu porsi sayur besan dijual dengan harga Rp10.000.
Tantangan terberat: menjaga kualitas rasa
Untuk melestarikan makanan Betawi dan meneruskan bisnis Warung Betawi Bang Be'eng, Yusri saat ini sedang belajar memasak menu-menu khas Betawi dari sang ibu, Nur Hasanah. Sejak subuh, ia telah memasak di dapur.
Menurut Yusri, menjaga rasa merupakan tantangan terberat dalam memasak makanan Betawi. Tantangan ini juga dihadapi oleh karyawan-karyawannya walaupun mereka telah dibimbing ibunya selama bertahun-tahun. Meski mereka betul-betul telah paham komposisi racikan bumbunya dan teknik memasaknya, rasa masakan yang mereka buat belum bisa menyerupai rasa masakan Nur Hasanah.
"Beda tangan, beda rasa," kata Yusri. "Orang-orang kadang-kadang juga bisa menilai, 'kok hari ini beda ya rasanya?'" Karena itulah, sebelum disajikan, masakan-masakan di Warung Betawi Bang Be'eng harus dicicip dulu oleh Nur Hasanah. Biasanya ketika Nur sedang sakit atau sedang bepergian, warung pun terpaksa tutup.
Senada dengan Yusri, Ahmad juga mengatakan bahwa mempertahankan rasa itu penting. Ia mengakui bahwa setelah neneknya meninggal pada 2018, sulit untuk bisa membuat laksa dengan cita rasa yang bisa menyerupai laksa buatan Muroni, neneknya.
"(Setelah nenek wafat) kita sempat vakum selama setengah tahun. Kita lalu survei rasa lagi selama setahun. Kita tanya-tanya ke pelanggan apa rasanya masih sama," ujar Ahmad. "Alhamdulillah, kata mereka, rasa tidak berubah."
Nenek Muroni memang tidak pernah meminta Ahmad untuk belajar memasak. Namun, ketika Muroni masih hidup, Ahmad suka mengamati bagaimana neneknya memasak. Pada saat Ahmad masih di bangku SD, neneknya sering mengajaknya berbelanja ke pasar. "Yang ribet itu ketika membuat bumbu karena hampir semua rempah itu masuk," katanya.
Selain rumitnya komposisi bumbu, lamanya proses pembuatan juga menjadi tantangan, kata Ahmad. Setiap hari, ia mulai memasak sayur dan lauknya pada pukul 03.00 dini hari, dan keduanya baru matang pada pukul 09.00. "Untuk rebus ketupatnya saja 12 jam," katanya.
Pengaruh budaya Tionghoa di kuliner Betawi
Wajah kuliner Betawi dibentuk oleh orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke Batavia sebagai pedagang. Laksa, misalnya, sebetulnya merupakan makanan asli orang-orang dari Cina. Laksa bahkan sudah ada di nusantara sejak era Kerajaan Majapahit. Di sebuah prasasti dari abad ke-15, ada kata 'hang laksa' yang artinya penjual laksa, ujar Fadly Rahman, dosen sejarah di Universitas Padjajaran yang meneliti sejarah kuliner Indonesia.
"Itu catatan yang paling tua," kata Fadly kepada DW Indonesia. "Penjual laksa ini identik dengan orang-orang Tionghoa di Majapahit." Prasasti itu membuktikan bahwa kuliner nusantara sangat dipengaruhi oleh kuliner Tionghoa, dan jejaknya dapat ditelusuri jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa.
Meskipun demikian, jasa orang-orang Eropa tidak boleh dilupakan karena informasi terperinci tentang kehidupan kuliner masyarakat negeri ini justru banyak ditulis oleh mereka.
"Jika menelusuri buku-buku masak yang terbit di masa kolonial, laksa ini memang salah satu masakan populer di lingkungan masyarakat Betawi dan wilayah lain di Hindia Belanda," tutur penulis buku berjudul Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia ini.
Laksa digolongkan sebagai makanan orang-orang Tionghoa oleh orang Belanda yang waktu itu mengumpulkan dan membukukan resep-resep masakan dari abad ke- 19 sampai awal abad ke-20. Pada masa ini, orang Betawi sudah mengenal laksa dan mereka menyebutnya sebagai laksa Betawi.
Kucai, kecap, dan kacang tanah yang dipakai di masakan-masakan Betawi sebetulnya bahan-bahan makanan khas Tionghoa. Kacang tanah, misalnya, dibawa oleh orang-orang Tionghoa ke Batavia pada tahun 1755, lebih lanjut Fadli bercerita.
Interaksi antara orang Tionghoa dan orang Betawi telah berlangsung sebelum abad ke-10. "Hubungan ini dijalin tidak hanya di sektor perdagangan, tetapi juga sektor pertanian," kata Fadly.
Menurut arsip-arsip Persekutuan Dagang Hindia Timur (VOC) pada abad-16 dan 17, orang- orang Belanda melihat orang-orang Tionghoa di Batavia aktif membudidayakan berbagai komoditas pertanian, seperti kedelai dan kacang tanah. Selain itu mereka juga menjual beragam makanan Tionghoa, seperti soto dan laksa. Interaksi bisnis dan sosial antara orang Tionghoa dan Betawi kemudian melahirkan soto Betawi dan laksa Betawi.
Mengapa masakan Betawi semakin langka?
Fadly Rahman dari Universitas Padjajaran menjelaskan semakin langkanya masakan Betawi saat ini karena beberapa faktor, termasuk kian langkanya bahan baku seperti terubuk yang merupakan bahan utama untuk membuat sayur besan.
"Terubuk sudah tidak lagi dibudidayakan, dan untuk memperolehnya di pasar pun tidak mudah," katanya. Selain itu, menurut Fadly, Jakarta telah menjadi kota yang terlalu kosmopolit. Tanpa disadari ini telah menyebabkan identitas Betawi semakin tergerus, seiring semakin banyaknya warga pendatang dari berbagai bangsa dan suku bangsa.
"Kita juga tidak menyadari bahwa di dalam perkembangan zaman sekarang, berbagai pengaruh industri kuliner dari luar yang semakin pesat dan masuk ke Jakarta juga membuat kuliner Betawi menjadi terasing di lingkungan komunitas Betawi sendiri dan masyarakat Jakarta secara umum," kata Fadly.
Makanan-makanan tradisional saat ini sedang direvitalisasi oleh pemerintah dan sejumlah kuliner lokal Betawi, seperti bubur ase, gabus pucung, dan sayur besan, juga telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda.
Walakin, menurut Fadly, tantangannya kini ialah apakah makanan-makanan itu bisa dikenal oleh banyak orang dan bisa dinikmati oleh mereka dari berbagai lapisan masyarakat, dan apakah bahan bahan baku yang khas dari makanan itu bisa dicari dan diperoleh di pasar sehingga bisa diolah di rumah-rumah.
"Apakah ada spirit dari anggota masyarakat dari berbagai lapisan untuk menghidupkan kuliner lokal Betawi?" kata Fadly. "Di Thailand, misalnya, orang-orang sangat mengenal tom yam. Mereka, dari lapisan atas sampai bawah, tahu bahwa itu adalah identitas mereka." (ae)